Pasca khasus penyadapan yang dilakukan
Australia terhadap sejumlah petinggi RI, pemerintah terlihat lamban merespon
bentuk pelanggaran yang terjadi. Reaksi dan luapan emosi yang lebih spontan
justru terlihat dari kalangan yang bergerak di dunia maya.
Beramai-ramai para peretas Indonesia menyerang situs-situs Australia.
Serangan-serangan siber itu tidak bermaksud merusak sistem operasi situs-situs
Australia.
Tindakan yang dikenal sebagai cyber attack tersebut hanya bertujuan
untuk menunjukkan eksistensi dan kemampuan kaum muda Indonesia untuk mengusik
'kenyamanan' negara tetangga dibelahan selatan nusantara itu.
Tindakan para peretas muda itu disatu sisi menunjukkan terusiknya
nasionalisme anak bangsa. Namun, disisi lain, serangan siber itu memicu terjadinya
serangan balasan dari pihak Australia terhadap sejumlah situs Indonesia.
Kondisi ini akhirnya meletupkan perang siber kecil antara kedua negara yang
menunjukkan infrastruktur IT Indonesia belum siap untuk menangantisipasi
potensi kondisi di atas.
Fakta-fakta diatas mendorong Komunitas Gita Indonesia bersama Indonesia
Cyber Defence Institute (ICDI) Yogyakarta menggelar diskusi yang menghadirkan
kalangan blogger dan komunitas kreatif Yogyakarta bertempat di Plataran
Mataram, Jalan Veteran, Umbulharjo, Yogyakarta, Kamis (5/12) silam.
Diskusi ini menghadirkan dua narasumber berkompeten, yakni Pepih
Nugraha (pengelola Kompasiana), Imanuel
More (pengamat politik Akar Rumput Strategic Consulting – ARSC) dan Aat Sadewa
(Peneliti Senior Indonesia Cyber Defence Institute – ICDI) dengan mengambil
tema "Memperjuangkan Indonesia di Dunia Maya".
Pepih yang juga redaktur harian Kompas ini menilai di era globalisasi
ini perang siber memang tak bisa dihindari lagi. Indonesia juga merupakan pasar
sekaligus pemain yang sangat potensial di dunia IT.
Saat ini perang non konvensional seperti halnya perang siber harus
menjadi salah satu kekuatan Indonesia. Apalagi anak-anak muda Indonesia cukup
berbakat untuk menguasai sektor IT ini.
Sementara pengamat politik Imanuel More dari ARSC menilai kebangkitan
partisipasi para peretas dalam isu-isu public tidak terhindarkan di era
demokrasi. “Keberadaan sosial media sebagai salah satu aspek keterlibatan
publik menjadi signifikan ketika institusi-institusi demokrasi tidak bekerja
baik dalam membela kepentingan nasional," kata More melalui siaran pers
yang diterima.
Pada tingkat domestik, kebangkitan mereka terlihat ketika menyerang dan
mengkritisi para pemimpin lokal atau nasional yang tidak becus dan tidak
populer. “Sementara, pada tingkat internasional, keterlibatan mereka muncul
ketika melihat negara melemah saat membela kepentingan dan kebanggaan kita
sebagai suatu Negara-bangsa“, jelas More.
Sementara itu, peneliti senior ICDI, Aat Sadewa menilai agar sebaiknya
negara segera memperhatikan para pelaku perang siber di Indonesia. Pelaku siber
juga sebaliknya untuk bisa menahan diri untuk tidak menyerang negara lain.
“Sudah saatnya Negara mulai merangkul dan memfasilitasi
kelompok-kelompok peretas dan pelaku perang siber untuk menyatukan kekuatan,
agar mereka tidak bertindak sporadis dan partikularistik, serta agar energi
mereka dialihkan justru untuk memperkuat sistem pertahanan IT Indonesia
sendiri, bukan menyerang Negara lain”.
Aat mengingatkan hal ini penting untuk diprioritaskan mengingat citra
para peretas Indonesia yang kerap negatif di mata komunitas internasional
karena sering mengganggu atau menghancurkan sistem orang lain dibanding
membangun atau meningkatkan inovasi sistem pertahanan IT kita sendiri.
Gita Indonesia adalah jaringan strategis masyarakat sipil organik yang
bertujuan untuk mengadvokasi kepentingan nasional dari berbagai aspek khususnya
di era globalisasi. Koordinator Gita Indonesia, Reza Fahlevi menyatakan,
organisasinya memulai gerakannya dari Yogyakarta mengingat kota tersebut adalah
basis kekuatan kaum republikan.
Editor : Donny Andhika
Dari : MetroTV Jakarta
No comments:
Post a Comment