Sunan Kudus dilahirkan
dengan nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Dia adalah putra dari
pasangan Sunan Ngudung (Sayyid Utsman Haji) [1]dengan
Syarifah Dewi Rahil binti Sunan
Bonang. Lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan
Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal
Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke
Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima
Perang.
Sunan Kudus
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Sebab meninggal
|
Meninggal dalam keadaan bersujud ketika sholat subuh
|
Tempat tinggal
|
Kudus Jawa Tengah
|
Pekerjaan
|
1. Penasehat Khalifah (Sultan Demak)
2. Panglima Perang 3. Qadhi 4. Mufti 5. Imam Besar Masjid Demak & Masjid Kudus 6. Mursyid Tarekat 7. Naqib Nasab Keturunan Azmatkhan 8. Ketua Pasar Islam Walisongo 9. Penanggung Jawab Pencetak Dinar Dirham Islam 10. Ketua Baitulmal Walisongo |
Tempat kerja
|
Kekhalifahan Islam Demak
|
Dikenal karena
|
Anggota Walisongo yang paling alim (Waliyyul Ilmi)
|
Gaji
|
7 Dinar Emas (1 Dinar Emas=24Karat,4.44 gram)/hari
|
Tinggi
|
180 cm
|
Berat
|
81 kg
|
Gelar
|
Waliyyul Ilmi
|
Jangka
|
1400M-1550M/ 808H-958H (150 tahun)
|
Pendahulu
|
Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) (Ayah)
|
Pengganti
|
Sayyid Amir Hasan (Anak Pertama)
|
Anggota dewan dari
|
|
Agama
|
|
Pasangan hidup
|
Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang
|
Anak
|
1. Amir Hasan
2. Panembahan Kudus 3. Nyai Ageng Pambayun 4. Amir Hamzah (Panembahan Palembang) 5. Panembahan Makaos Honggokusumo 6. Panembahan Kadhi 7. Panembahan Karimun 8. Panembahan Jaka 9. Ratu Pajaka 10. Ratu Probodinalar |
Kerabat
|
Syarifah Dewi Sujinah (adik perempuan/isteri Sunan Muria)
|
Jati Diri Sunan Kudus
Nama Ja'far
Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah
az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus
sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di Al-Quds negara
Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.
Nasab Sunan Kudus
Sunan Kudus
adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau
Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan
Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin
Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin
Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi
Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin
Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.[2]
Sunan Kudus Dalam Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi
(selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi
Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di
Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya,
di sini terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.
“…Orang di tanah
Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid
di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan
Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab
sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan
didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah
menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan
sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah.
Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika
para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk
bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit
kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.” [3]
“Pada waktu itu
banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan.
Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan
Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata,
dan Sultan Pajang. Yang paling disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan
Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan
Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama guru itu, hukumnya
apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya
belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di
Prawata.” Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia
membunuh Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama Rangkud dan
diperintah untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu berangkat. Sesampai di
Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada
istrinya. Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang
siapa?” Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan
untuk membunuhmu.” Sunan Prawata berkata, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri
sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.” Rangud lalu menusuk
sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya serta menembus
dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut
kerisnya yang bernama Kyai Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud
tergores oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah
lalu tewas. Sunan Prawata dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya
ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata
sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum'at.
Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura
Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata
tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak
terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama
suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lalu jawab Sunan Kudus,
“Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar
hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat
sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya
Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya.
Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat
menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk
menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat berprasetia
tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Penansang belum meninggal. Ia
bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia akan mengabdi kepadanya
dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya.
Pada suatu
ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan
Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tapi
belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Jika masih ada
adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah
penghalang.” Arya Penansang berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus,
Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh
supaya tidak ada penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang
setuju sebab akan merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya,
kakakmu di Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak
orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal
untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Datang di
Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur
berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan
menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal),
masih enak tidur saja. Kain yang digunakan untuk berselimut itu pun tidak
tertembus. Para isrti terkejut, bangun, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang
terkejut juga dan bangun. Kain selimut terlempar menerpa para utusan itu,
mereka terjatuh terkapar di tanah, tiak ada yang dapat pergi….” [4]
Asal-Usul Nama Kota Kudus
Dahulu kota
Kudus masih bernama Tajug. Kata warga setempat, awalnya ada Kyai Telingsing
yang mengembangkan kota ini. Telingsing sendiri adalah panggilan sederhana
kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada
sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai
Telingsing seorang ahli seni lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif
lukisan Dinasti Sung, juga sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka.
Setelah datang ke Kudus untuk menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan
pesantren di kampung Nganguk. Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib
atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus adalah salah satu santrinya yang
ditunjuk sebagai penggantinya kelak. [5].
Kota ini sudah
ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah
tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari
kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di Kudus adalah dengan berada di
tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan
bahwa kelompok kecilnya itu adalah para santrinya sendiri yang dibawa dari
Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi lainnya
mereka itu adalah warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah
ladang. Berarti ada kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di
Kudus dimulai dengan menggarap ladang.
Fakta Mengenai Sunan Kudus
Sunan Kudus
berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal
dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada
Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam
yang sering dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material
dari Menara Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan
tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang
merupakan system komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak
dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus
selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa
ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun
cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer
sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan
seniman.
Satu fakta utama
yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar
Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia
yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya:
“…Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan
untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal
ini kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan kenggunan Menara Kudus.
Disamping itu Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah Indonesia
yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada masyarakat kita dan juga
khalayak luar negeri.”
Mengenai hari
jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990
yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak bisa dilepaskan dari
patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi
yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549
M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa
semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan ummatnya.[6]
Menurut Muliadi
via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992),
menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama
dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan
khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus;
serta merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu).
Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan merupakan
daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.”
Salah satu
bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan sejarah perjalanan
masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang
disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi kegiatan rutin pengurus Menara Kudus
setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun
sekitarnya. Ini merupakan prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus
diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar,
dan surat-surat pendek al-quran yang sebelumnya telah didahului dengan khataman
quran secara utuh).
Ada lagi tradisi
Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa
Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus
(berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan
Kudus. Selain itu masyarakat Kudus hingga saat ini tak pernah berani
menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana
dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu
masyarakat Kudus masih beragama Hindu yang menyucikan hewan lembu. Kini, setiap
Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam
latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah. Mereka datang
dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen
tertentu ada yang datang dari mancanegara.[7]
Fenomena
pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam bertindak (untuk
beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik
keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra Sunan Kudus dalam masyarakat
Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi
budaya lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang
dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama
(Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta
memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali
hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam
(suatu identitas kultural).[8]
Karya Sunan Kudus
Pada tahun 1530,
Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus,
yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan
hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus
Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada
masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha
untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi
dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih
banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
Wafatnya Sunan Kudus
Pada tahun 1550
M Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara
Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
Keturunan Sunan Kudus
Di antara
keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama' dan Tokoh di Indonesia adalah: Syekh
Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan
Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan
Ba'alawi Al-Husaini.
Pranala luar
Catatan kaki
1. ^ (Indonesia) Muljana,
Slamet (2005). Runtuhnya
kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT
LKiS Pelangi Aksara. hlm. 52. ISBN 9798451163.ISBN
9789798451164
2. ^ (Indonesia) Azmatkhan,
Shohibul Faroji (2011). Ensiklopedi Nasab Imam Al-Husain. Penerbit
Walisongo Center. hlm. 30. ISBN 9798451999 Check |isbn= value
(help).ISBN
9789798451999
4. ^ (Indonesia) http://maci27.multiply.com/journal/item/69?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem%7Ctitle=Analisis Historis
Kisah Sunan Kudus,Makalah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro,
Semarang,2010
6. ^ Pola
Spasial Objek Wisata Ziarah Wali Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Dikaitkan
dengan Persepsi Peziarah, Tesis Magister Teknik Aritektur Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, ,
7. ^ Purwadi
dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural
di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka
8. ^ a b (Indonesia) Said,
Nur (2010). Jejak Perjuangan Sunan Kudus Dalam Membangun Karakter
Bangsa. Penerbit : Brillian Media Utama, Bandung & Sanggar
‘Menaraku’, Kudus Cetakan : Pertama. hlm. 25. ISBN 9798451171.ISBN
9789798451171
Daftar Pustaka
1. Amaruli,
Rabith Jihan dan Dhanang Respati Puguh. 2006. Pembauran Komunitas Tionghoa
Muslim di Kudus 1961-1998. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Dipoegoro: Sabda Volume 1 Nomor 1.
2. Ibrahim,
Zahrah. 1986. Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
3. Luxemburg,
Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
4. Muliadi.
“Pola Spasial Objek Wisata Ziarah Wali Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus
Dikaitkan dengan Persepsi Peziarah”. Tesis Magister Teknik Aritektur Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.
5. Olthof,
W. L. 2008. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
6. Purwadi
dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural
di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
7. Said,
Nur. 2009. Pendidikan Multikultural Warisan Kanjeng Sunan Kudus. Kudus: CV.
Brillian Media Utama.
8. Steenbrink,
Karel A. 1988. Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai
Agama di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
9. Sutrisno,
Budiono Hadi. 2007. Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Jawa. Yogyakarta:
Graha Pustaka.
10. Usman,
Zuber. 1963. Kesusastraan Lama Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
No comments:
Post a Comment