Para pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, setiap hari umat
Islam menjalankan ritual shalat yang merupakan salah satu bentuk
peribadahan kepada Allah suhanahu wata’ala. Setiap kita melaksanakan
shalat, kita diperintah untuk membaca surat Al Fatihah sebagai salah
satu rukun shalat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al
Fatihah)”. (HR. Abu Dawud no. 297 dan At Tirmidzi no. 230 dari shahabat
Abu Hurairah dan ‘Aisyah)
Surat ini termasuk deretan surat Makkiyah (yang turun sebelum hijrah) dan terdiri dari tujuh ayat.
Nama Lain Surat Al Fatihah
Surat Al Fatihah memiliki banyak nama. Di antaranya; Fatihatul Kitab
(pembuka kitab/Al Qur’an). Karena Al Qur’an, secara penulisan dibuka
dengan surat ini. Demikian pula dalam shalat, Al Fatihah sebagai pembuka
dari surat-surat lainnya.
Al Fatihah dikenal juga dengan sebutan As Sab’ul Matsani (tujuh yang
diulang-ulang). Disebabkan surat ini dibaca berulang-ulang pada setiap
raka’at dalam shalat.
Dinamakan juga dengan Ummul Kitab. Karena di dalamnya mencakup pokok-pokok Al Quran, seperti aqidah dan ibadah.
Keutamaan surat Al Fatihah
Surat Al Fatihah memiliki berbagai macam keutamaan dan keistimewaan dibanding dengan surat-surat yang lain. Di antaranya adalah;
Al Fatihah merupakan surat yang paling agung. Al Imam Al Bukhari
meriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al Mu’alla, bahwasanya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya):
“Sungguh aku akan ajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam Al
Quran sebelum engkau keluar dari masjid? Lalu Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam memegang tanganku. Disaat Beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam hendak keluar dari masjid, aku bertanya: “Ya Rasulullah!
Bukankah engkau akan mengajariku tentang surat yang paling agung dalam
Al Quran? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: Ya (yaitu
surat)
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Ia adalah As Sab’u Al Matsani dan Al Qur’anul ‘Azhim (Al Qur’an yang Agung) yang diwahyukan kepadaku.” (HR. Al Bukhari no. 4474)
Al Fatihah merupakan surat istimewa yang tidak ada pada kitab-kitab
terdahulu selain Al Qur’an. Dari shahabat Ubay bin Ka’ab radhiallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepadanya: “Maukah engkau aku beritahukan sebuah surat yang tidak ada
dalam kitab Taurat, Injil, Zabur, dan demikian pula tidak ada dalam Al
Furqan (Al Qur’an) surat yang semisalnya? Kemudian Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam memberitakan surat itu adalah Al Fatihah”. (HR. At
Tirmidzi no. 2800)
Al Fatihah sebagai obat dengan izin Allah suhanahu wata’ala. Al Imam Al
Bukhari meriiwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu
‘anhu tentang kisah kepala kampung yang tersengat kalajengking. Lalu
beberapa shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam meruqyahnya dengan
membacakan surat Al Fatihah kepadanya. Dengan sebab itu Allah suhanahu
wata’ala menyembuhkan penyakit kepala kampung itu.
Terkait dengan shalat sebagai rukun Islam yang kedua, Al Fatihah
merupakan unsur terpenting dalam ibadah itu. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى وَلَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا أُمَّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ – ثَلاَثاً – غَيْرُ تَمَامٍ
“Barang siapa shalat dalam keadaan tidak membaca Al Fatihah, maka
shalatnya cacat (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengulanginya
sampai tiga kali) tidak sempurna.” (HR. Muslim no. 395, dari shahabat
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Bahkan membaca Al Fatihah termasuk rukun dalam shalat, sebagaimana riwayat diatas.
Tafsir Surat Al Fatihah
Pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, berikut ini merupakan ringkasan tafsir dari surat Al Fatihah:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin.”
Segala pujian beserta sifat-sifat yang tinggi dan sempurna hanyalah
milik Allah suhanahu wata’ala semata. Tiada siapa pun yang berhak
mendapat pujian yang sempurna kecuali Allah suhanahu wata’ala. Karena
Dia-lah Penguasa dan Pengatur segala sesuatu yang ada di alam ini.
Dia-lah Sang Penguasa Tunggal, tiada sesuatu apa pun yang berserikat
dengan kuasa-Nya dan tiada sesuatu apa pun yang luput dari kuasa-Nya
pula. Dia-lah Sang Pengatur Tunggal, yang mengatur segala apa yang di
alam ini hingga nampak teratur, rapi dan serasi. Bila ada yang mengatur
selain Allah suhanahu wata’ala, niscaya bumi, langit dan seluruh alam
ini akan hancur berantakan. Dia pula adalah Sang Pemberi rezeki, yang
mengaruniakan nikmat yang tiada tara dan rahmat yang melimpah ruah.
Tiada seorang pun yang sanggup menghitung nitmat yang diperolehnya.
Disisi lain, ia pun tidak akan sanggup membalasnya. Amalan dan syukurnya
belum sebanding dengan nikmat yang Allah suhanahu wata’ala curahkan
kepadanya. Sehingga hanya Allah suhanahu wata’ala yang paling berhak
mendapatkan segala pujian yang sempurna.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang.”
Ar Rahman dan Ar Rahim adalah Dua nama dan sekaligus sifat bagi Allah
suhanahu wata’ala, yang berasal dari kata Ar Rahmah. Makna Ar Rahman
lebih luas daripada Ar Rahim. Ar Rahman mengandung makna bahwa Allah
suhanahu wata’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya,
baik yang beriman atau pun yang kafir. Sedangkan Ar Rahim, maka Allah
suhanahu wata’ala mengkhususkan rahmat-Nya bagi kaum mukminin saja.
Sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala: “Dan adalah Dia Maha
Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Al Ahzab: 43)
مَالِكِ يِوْمِ الدِّيْنِ
“Yang menguasai hari kiamat.”
Para ‘ulama ahli tafsir telah menafsirkan makna Ad Din dari ayat diatas
adalah hari perhitungan dan pembalasan pada hari kiamat nanti.
Umur, untuk apa digunakan? Masa muda, untuk apa dihabiskan? Harta, dari
mana dan untuk apa dibelanjakan? Tiada seorang pun yang lepas dan lari
dari perhitungan amal perbuatan yang ia lakukan di dunia. Allah suhanahu
wata’ala berfirman (artinya):
“Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu
apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak
berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada
hari itu dalam kekuasaan Allah”. (Al Infithar: 17-19)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolonga.”
Secara kaidah etimologi (bahasa) Arab, ayat ini terdapat uslub (kaidah)
yang berfungsi memberikan penekanan dan penegasan. Yaitu bahwa tiada
yang berhak diibadahi dan dimintai pertolongan kecuali hanya Allah
suhanahu wata’ala semata. Sesembahan-sesembahan selain Allah itu adalah
batil. Maka sembahlah Allah suhanahu wata’ala semata.
Sementara itu, disebutkan permohonan tolong kepada Allah setelah
perkara ibadah, menunjukkan bahwa hamba itu sangat butuh kepada
pertolongan Allah suhanahu wata’ala untuk mewujudkan ibadah-ibadah yang
murni kepada-Nya.
Selain itu pula, bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari Allah
suhanahu wata’ala. Maka mohonlah pertolongan itu hanya kepada Allah
suhanahu wata’ala. Tidak pantas bertawakkal dan bersandar kepada selain
Allah suhanahu wata’ala, karena segala perkara berada di tangan-Nya. Hal
ini sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala (artinya):
“Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya”. (Hud: 123)
اهْدِنَا الصَّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
“Tunjukkanlah kami ke jalanmu yang lurus.”
Yaitu jalan yang terang yang mengantarkan kepada-Mu dan jannah
(surga)-Mu berupa pengetahuan (ilmu) tentang jalan kebenaran dan
kemudahan untuk beramal dengannya.
Al Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari shahabat An Nawas bin
Sam’an radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Allah memberikan permisalan ash shirathul mustaqim (jembatan
yang lurus), diantara dua sisinya terdapat dua tembok. Masing-masing
memiliki pintu-pintu yang terbuka, dan di atas pintu-pintu tersebut
terdapat tirai-tirai tipis dan di atas pintu shirath terdapat seorang
penyeru yang berkata: “Wahai sekalian manusia masuklah kalian seluruhnya
ke dalam as shirath dan janganlah kalian menyimpang. Dan ada seorang
penyeru yang menyeru dari dalam ash shirath, bila ada seseorang ingin
membuka salah satu dari pintu-pintu tersebut maka penyeru itu berkata:
“Celaka engkau, jangan engkau membukanya, karena jika engkau membukanya,
engkau akan terjungkal kedalamnya. Maka ash shirath adalah Al Islam,
dua tembok adalah aturan-aturan Allah, pintu-pintu yang terbuka adalah
larangan-larangan Allah. Penyeru yang berada di atas ash shirath adalah
Kitabullah (Al Qur’an), dan penyeru yang berada didalam ash shirath
adalah peringatan Allah bagi hati-hati kaum muslimin”.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Yaitu jalannya orang-orang yang engkau beri kenikmatan.”
Siapakah mereka itu? Meraka adalah sebagaimana yang dalam firman Allah
suhanahu wata’ala: “Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya,
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allah yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati
syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.
Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahui”.
(An Nisaa’: 69-70
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِيْنَ
“Dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.”
Orang-orang yang dimurkai Allah suhanahu wata’ala adalah orang-orang
yang mengetahui kebenaran akan tetapi enggan mengamalkannya. Mereka itu
adalah kaum Yahudi. Allah suhanahu wata’ala berfirman berkenaan dengan
keadaan mereka (artinya):
“Katakanlah Wahai Muhammad: Maukah Aku beritakan kepadamu tentang
orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu
di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai oleh Allah”.
(Al Ma’idah: 60)
Adapun jalan orang-orang yang sesat adalah bersemangat untuk beramal
dan beribadah, tapi bukan dengan ilmu. Akhirnya mereka sesat disebabkan
kebodohan mereka. Seperti halnya kaum Nashara. Allah suhanahu wata’ala
memberitakan tentang keadaan mereka:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan
kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (Al
Ma’idah: 77)
At Ta’min
Pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, At Ta’min adalah kalimat
“Amin” yang diucapkan setelah selesai membaca Al Fatihah dalam shalat
dan bukan merupakan bagian dari surat tersebut, yang mempunyai arti “Ya
Allah kabulkanlah do’a kami”.
Diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika membaca:
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِيْنَ
maka Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan Amin sampai
orang-orang yang di belakangnya dari shaf pertama mendengar suaranya.
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan ta’min malaikat, maka Allah
suhanahu wata’ala menjanjikan ampunan bagi dia. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika imam mengucapkan
amin maka ikutilah, karena barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan
ta’min malaikat, niscaya ia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
(Muttafaqun alaih)
Kandungan surat Al Fatihah
Pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, surat ini memiliki
kandungan faidah yang banyak dan agung, berikut ini beberapa di
antaranya yang dapat kami sebutkan:
1. Surat ini terkandung di dalamnya tiga macam tauhid:
• Tauhid Rububiyyah, yaitu beriman bahwa hanya Allah suhanahu wata’ala
yang menciptakan, mengatur dan memberi rizqi, sebagaimana yang
terkandung di dalam penggalan ayat: “Rabbul ‘alamin “.
• Tauhid Asma’ wa Shifat, yaitu beriman bahwa Allah suhanahu wata’ala
mempunyai nama-nama serta sifat-sifat yang mulia dan sesuai dengan
keagungan-Nya. Diantaranya Ar Rahman dan Ar Rahim.
• Tauhid Uluhiyyah, yaitu beriman bahwa tiada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah suhanahu wata’ala semata. Adapun sesembahan
selain Allah suhanahu wata’ala adalah batil. Diambil dari penggalan
ayat: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan”.
2. Penetapan adanya hari kiamat dan hari pembalasan, sebagaimana potongan ayat: “Penguasa hari pembalasan”.
3. Perintah untuk menempuh jalan orang-orang yang shalih.
4. Peringatan dan ancaman dari enggan untuk mengamalkan ilmu yang
telah diketahui. Karena hal ini mendatangkan murka Allah suhanahu
wata’ala. Demikian pula, hendaklah kita berilmu sebelum berkata dan
beramal. karena kebodohan akan mengantarkan pada jalan kesesatan.
Penutup
Demikianlah ringkasan dari tafsir surat Al Fatihah. Semoga dapat
mengantarkan kita kepada pemahaman yang benar di dalam menempuh agama
yang diridhai oleh Allah suhanahu wata’ala ini. Amin, Ya Rabbal ‘Alamin.
sumber : Assalafy dan darussalaf
No comments:
Post a Comment